Cari di Blog Ini

Puisi Sayyidah Fatimah kepada Rosulullah Muhammad

Puisi Sayyidah Fatimah kepada Rosulullah Muhammad


Nafasku tersekat dalam tangisan
Duhai, mengapa nafas tak lepas bersama jeritan
Sesudahmu tiada lagi kebaikan dalam kehidupan
Aku menangis karena aku takut hidupku akan kepanjangan

Kala rinduku memuncak, kujenguk pusaramu dengan tangisan

Aku menjerit meronta tanpa mendapatkan jawaban
Duhai yang tinggal di bawah tumpukan debu, tangisan memelukku
Kenangan padamu melupakan daku dari segala musibah yang lain
Jika engkau menghilang dari mataku ke dalam tanah,
engkau tidak hilang dari hatiku yang pedih

Berkurang sabarku bertambah dukaku
setelah kehilangan Khatamul Anbiya
Duhai mataku, cucurkan air mata sederas derasnya
jangan kautahan bahkan linangan darah
Ya Rasul Allah, wahai kekasih Tuhan
pelindung anak yatim dan dhuafa
Setelah mengucur air mata langit
bebukitan, hutan, dan burung
dan seluruh bumi menangis
Duhai junjunganku,
untukmu menangis tiang-tiang Ka’bah
bukit-bukit dan lembah Makkah
Telah menangisimu mihrab
tempat belajar Al-Quran di kala pagi dan senja
Telah menangisimu Islam
sehingga Islam kini terasing di tengah manusia
Sekiranya kau lihat mimbar yang pernah kau duduki
akan kau lihat kegelapan setelah cahaya

(Ini adalah puisi yang konon dibacakan oleh Sayyidah Fatimah Az-Zahra setiap kali beliau mengunjungi makam ayahandanya, Rasulullah, Muhammad SAW)

Dakwah Adalah Cinta

DAKWAH ADALAH CINTA 



Memang seperti itu dakwah. 
Dakwah adalah cinta. 
Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu. 
Sampai pikiranmu.
Sampai perhatianmu. 
Berjalan, duduk, dan tidurmu. 
Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah.
Tentang umat yang kau cintai. 

Lagi-lagi memang seperti itu Dakwah. 
Menyedot saripati energimu. 
Sampai tulang belulangmu. 
Sampai daging terakhir yang menempel di tubuh rentamu. 
Tubuh yang luluh lantak diseret-seret. 
Tubuh yang hancur lebur dipaksa berlari. 

Seperti itu pula kejadiannya pada rambut Rasululloh. 
Beliau memang akan tua juga. 
Tapi kepalanya beruban karena beban berat dari ayat yg diturunkan Alloh.

Sebagaimana tubuh mulia Umar bin Abdul Aziz. 
Dia memimpin hanya sebentar. 
Tapi kaum muslimin sudah dibuat bingung. 
Tidak ada lagi orang miskin yang bisa diberi sedekah. 
Tubuh mulia itu terkoyak-koyak. 
Sulit membayangkan sekeras apa sang Khalifah bekerja. 
Tubuh yang segar bugar itu sampai rontok. 
Hanya dalam 2 tahun ia sakit parah kemudian meninggal. 
Toh memang itu yang diharapkannya ; mati sebagai jiwa yang tenang. 

Dan di etalase akhirat kelak, 
mungkin tubuh Umar bin Khathab juga terlihat tercabik-cabik. 
Kepalanya sampai botak. 
Umar yang perkasa pun akhirnya membawa tongkat ke mana-mana. 
Kurang heroik? 
Akhirnya diperjelas dengan salah satu luka paling legendaris sepanjang sejarah; 
luka ditikamnya seorang Khalifah yang sholih, 
yang sedang bermesra-mesraan dengan Tuhannya saat sholat. 

Dakwah bukannya tidak melelahkan. 
Bukannya tidak membosankan. 
Dakwah bukannya tidak menyakitkan. 
Bahkan juga para pejuang risalah bukannya sepi dari godaan kefuturan. 
Tidak…................. 
Justru kelelahan. 
Justru rasa sakit itu selalu bersama mereka sepanjang hidupnya. 

Setiap hari, 
satu kisah heroik, 
akan segera mereka sambung lagi dengan amalan yang jauh lebih “tragis”.
Justru karena rasa sakit itu selalu mereka rasakan, selalu menemani…...
Justru karena rasa sakit itu selalu mengintai ke mana pun mereka pergi.....… 
akhirnya menjadi adaptasi. 

Kalau iman dan godaan rasa lelah selalu bertempur, 
pada akhirnya salah satunya harus mengalah. 
Dan rasa lelah itu sendiri yang akhirnya lelah untuk mencekik iman. 
Lalu terus berkobar dalam dada. 

Begitu pula rasa sakit. 
Hingga luka tak kau rasa lagi sebagai luka. 
Hingga “hasrat untuk mengeluh” tidak lagi terlalu menggoda dibandingkan jihad yang begitu cantik. 

Begitupun Umar. 
Saat Rasululloh wafat, ia histeris. 
Saat Abu Bakar wafat, ia tidak lagi mengamuk. 
Bukannya tidak cinta pada abu Bakar. 
Tapi saking seringnya “ditinggalkan” , hal itu sudah menjadi kewajaran. 
Dan menjadi semacam tonik bagi iman. 

Karena itu kamu tahu. 
Pejuang yang heboh ria memamer-mamerkan amalnya adalah anak kemarin sore. 
Yang takjub pada rasa sakit dan pengorbanannya juga begitu. 
Karena mereka jarang disakiti di jalan Alloh. 
Karena tidak setiap saat mereka memproduksi karya-karya besar. 
Maka sekalinya hal itu mereka kerjakan, sekalinya hal itu mereka rasakan, 
mereka merasa menjadi orang besar. 
Dan mereka justru jadi lelucon dan target doa para mujahid sejati : 
“ya Alloh, berilah dia petunjuk, sungguh Engkau Maha Pengasih lagi maha Penyayang “ 

Maka satu lagi seorang pejuang tubuhnya luluh lantak. 
Jasadnya dikoyak beban dakwah. 
Tapi iman di hatinya memancarkan cinta. 
Mengajak kita untuk terus berlari… 
“Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu. 
Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu. 
Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu. 
Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu. 
Tetaplah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu.” 



Muhammad Faisal, SPd, M.MPd 
Bekasi, 14/05/2011

Sepucuk surat dari Ayah dan Ibu



SEPUCUK SURAT DARI AYAH DAN IBU


Anakku...
ketika aku semakin tua,,
aku berharap kamu memahami dan memiliki kesabaran untukku

suatu ketika aku memecahkan piring,
atau menumpahkan sup diatas meja, karena penglihatanku berkurang
aku harap kamu tidak memarahiku
orang tua itu sensitif,,,
selalu merasa bersalah saat kamu berteriak

Ketika pendengaranku semakin memburuk,
dan aku tidak bisa mendengar apa ayang kamu katakan,
aku harap kamu tidak memanggilku "Tuli!"
mohon ulangi apa yang kamu katakan atau menuliskannya

Maaf, anakku... aku semakin tua

Ketika lututku mulai lemah,
aku harap kamu memiliki kesabaran untuk membantuku bangun
seperti bagaimana aku selalu membantu kamu saat kamu masih kecil, untuk belajar berjalan
aku mohon, jangan bosan denganku

Ketika aku terus mengulangi apa yang ku katakan,
seperti kaset rusak
aku harap kamu terus mendengarkan aku
tolong jangan mengejekku, atau bosan mendengarkanku
apakah kamu ingat ketika kamu masih kecil
dan kamu ingin sebuah balon?
kamu mengulangi apa yang kamu mau berulang-ulang
sampai kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan.

Maafkan juga bauku...
tercium seperti orang yang sudah tua
aku mohon jangan memaksaku untuk mandi
tubuhku lemah.....
Orang tua mudah sakit karena mereka rentan terhadap dingin
aku harap aku tidak terlihat kotor bagimu...
apakah kamu ingat ketika kamu masih kecil?
aku selalu mengejar-ngejar kamu... karena kamu tidak ingin mandi
Aku harap kamu bisa bersabar denganku,
ketika aku selalu rewel
ini semua bagian dari menjadi tua,,
kamu akan mengerti ketika kamu tua

Dan jika kamu memiliki waktu luang,
aku harap kita bisa berbicara
bahkan untuk beberapa menit
aku selalu sendiri sepanjang waktu
dan tidak memiliki seorang pun untuk diajak bicara
aku tahu kamu sibuk dengan pekerjaan
Bahkan jika kamu tidak tertarik dengan ceritaku
aku mohon berikan aku waktu untuk bersamamu
apakah kamu ingat ketika kamu masih kecil?
aku selalu mendengarkan apapun yang kamu ceritakan tentang mainanmu

Ketika saatnya tiba...
dan aku hanya bisa terbaring, sakit dan sakit
aku harap kamu memiliki kesabaran untuk merawatku

Maaf......
kalau aku sengaja mengompol atau membuat berantakan
aku harap kamu memiliki kesabaran untuk merawatku,
selama beberapa saat terakhir dalam hidupku
aku mungkin tidak akan bertahan lebih lama

Ketika waktu kematianku datang
aku harap kamu memegang tanganku
dan memberikanku kekuatan untuk menghadapi kematian
dan jangan khawatir, ketika aku bertemu dengan Sang Pencipta
aku akan berbisik pada-Nya
untuk selalu memberikan berkah padamu
karena kamu mencintai, ibu dan ayahmu...

Terima kasih atas segala perhatianmu, nak...
kami mencintaimu dengan kasih yang berlimpah



Anakmu



Anakmu.......

Karya : Kahlil Gibran
Dari Buku Sang Nabi


Anakmu bukan milikmu.
Mereka putera-puteri Sang Hidup yang rindu pada diri sendiri.
Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau
Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu.

Berikan mereka kasih-sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu,
Sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri.
Patut kau berikan rumah untuk raganya, tapi tidak untuk jiwanya,

Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan.
Yang tiada dapat kau kunjungi, sekalipun dalam impian.

Kau boleh berusaha menyerupai mereka,
Namun jangan membuat mereka menyerupaimu.

Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
Pun tidak tenggelam di masa lampau.

Kaulah busur, dan anak-anakmulah, anak panah yang meluncur.
Sang Pemanah maha tahu sasaran bidikan keabadian,
Dia merentangmu dengan kekuasaan-Nya,
Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.

Meliuklah dengan sukacita dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
Sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat,
Sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap






Cinta dan Air Mata





Cinta Sejati

seringkali tumbuh subur

setelah disiram air mata




Hariadi adalah seorang pemuda yang sukses dalam karier. Ia dipercaya sebagai direktur manager sebuah perusahaan shampo dan kosmetik. Nasib baik dibidang kariernya ternyata tak sama baik dalam segi fisiknya. Meskipun tidak bisa dibilang jelek, ia juga tidak bisa dibilang tampan. Selain itu, Hariadi adalah seorang pemuda yang selalu mengagungkan, menghormati dan patuh terhadap kedua orang tuanya, ia juga taat menjalankan perintah agama, walau pemahamannya terhadap agama tak seberapa mendalam.
                       Menjelang usia yang cukup untuk berumah tangga, Hariadi kemudian dijodohkan oleh kedua orang tuanya dengan anak seorang teman Ayahnya semasa dipesantren dulu. Sebut saja Farah namanya. Farah adalah gadis yang anggun, manis dan ramah. Sejak lulus Madrasah Ibtidaiyyah, Farah menghabiskan masa mudanya disebuah pesantren  hingga ia lulus S1 di Universitas yang dikelola oleh pesantren tersebut.
Sementara itu, selain karna rasa patuh terhadap kedua orang tua yang menjodohkannya dengan Farah, Hariadi memang sangat mencintai dan menyayangi Farah. Bisa ditebak sebabnya, yakni karna Farah adalah gadis yang manis, anggun, ramah dan berbudi pekerti luhur. Maka tak salah bila Hariadi begitu mencintai Farah. Berbeda halnya dengan Hariadi yang sangat mencintai dan menyayangi Farah. Farah tak pernah mencintai, bahkan tak ada sedikitpun perasaan cinta dan sayang tehadap Hariadi. Kalaupun akhirnya Farah harus menerima Hariadi sebagai suaminya, adalah lantaran karna Farah tak mau menyakiti hati kedua orang tuanya dengan menolak dijodohkan dengan Hariadi.
Akhirnya, senang atau tidak senang, Farah pun harus menerima Hariadi sebagai suaminya, walau dengan perasaan berat dan rasa tersayat. Demi mengikuti kemauan kedua orang tuanya, dan demi membahagiakan hati kedua orang tuanya, farah harus rela mengorbankan kebahagian dirinya sendiri.
Hari-hari berlalu begitu cepatnya, bulan pun telah berganti tahun. Tak terasa lima tahun sudah Farah menjalani hari-hari sebagi istri Hariadi. Dalam lima tahun itu Farah telah dikarunia dua orang anak dari Hariadi. Dan dalam lima tahun itu pula, dengan dua orang anak, ternyata tak juga mampu menyemikan benih cinta dan sayang di hati Farah kepada Hariadi. Sikap ramah dan budi pekerti luhur yang selama itu telah menghiasi pribadi Farah, lambat laut mulai terkikis oleh keangkuhan hati Farah. Keangkuhan hati yang sama sekali tak pernah berusaha mencoba untuk sekedar menyemikan benih cinta dan sayang kepada Hariadi, orang yang sangat mencintai dan menyayanginya. Farah yang dulu ramah, kini menjadi wanita yang angkuh dan maunya menang sendiri. Bahkan, budaya metropolitan kini juga bagai virus yang merasuki prilaku Farah, merubah pemikiran dan penampilannya dari bersahaja menjadi wanita serba mewah. Tiap hari ia keluar-masuk salon hanya sekedar merapikan rambut dan merawat kulit. Dan tiap hari juga ia harus membeli  pakaian sekedar mengikuti update trend terkini. Beruntung sekali Farah menjadi istri Hariadi, Hariadi yang penyabar, dan sangat menyayangi Farah. Segala kemauan dan keinginan Farah, Hariadi selalu berusaha mewujudkannya. Mulai dari perhiasan hingga mobil mewah, ia persembahkan buat istri tercintanya.
Sampailah pada suatu hari, Farah pergi ke sebuah salon di tengah kota. Seperti biasanya, sekedar ia ingin merapikan rambut dan merawat kulit sebagai rutinitasnya. Singkat kata, setelah semuanya selesai, Farah pun berdiri menghampiri tas yang ia letakkan di atas meja rias. Diraihnya tas tersebut, dan dibukanya. Ia raba-raba, mencari-cari dompet yang ia simpan di dalam tas, sebuah dompet kecil tempat menyimpan uang yang akan ia ambil untuk membayar ongkos perawatan di Salon tersebut. Hingga seluruh isi tas tersebut dikeluarkan semua, Farah tetap tak menemukan dompetnya. Ia lalu mengambil Handphone di saku celananya, dan coba menghubungi Hariadi yang saat itu sedang berada di Kantor tempat ia bekerja.
Farah              :      “hallo, yah kamu ambil dompetku ya ?!”
Hariadi          :      “ma sya’alloh .............., iya. Pagi tadi waktu kamu masih tidur, anak-anak berangkat    sekolah minta uang jajan, dan aku sedang tidak punya uang kecil. Lalu aku ambilkan dari dompetmu. Maaf sayank ya !, aku lupa mengembalikannya lagi kedalam tasmu. Maaf  ya sayank”
Farah              :      “Sekarang aku sedang berada di salon biasanya, dan lagi butuh uang buat bayar ongkos salon. Gimana ini yah ?.  pokoknya kamu harus antarkan dompetku, sekarang !”
Hariadi          :      “Iya iya, sekarang aku antarkan kesana”
                        Kemudian Hariadi segera menyambar kunci kontak Honda Jazz-nya, dan mengendarainya menuju ke rumah. Sampai di rumah, ia kemudian mencari dompet istri tercintanya. Dan setelah dapat ia temukan dompet istrinya, segera ia menuju salon dengan Honda Jazz-nya.
                        Sementara itu Farah yang sedang menunggu kedatangan Hariadi sambil membaca-baca majalah kesukaannya. Namun setelah sekian lama Farah menunggu, Hariadi tak kunjung datang juga. Sambil menggerutu dan menyimpan kemarahan dalam hati, Farah coba memencet-mencet nomor Handphonnya untuk menghubungi Hariadi.
Farah              :    “Hallo.......!, kenapa lama sekali sih”
Belum sempurna kalimat yang diucapkan Farah, tiba-tiba terdengar jawaban dari Handphon Hariadi suaminya. Namun suara itu bukanlah suara Hariadi yang telah Farah kenal.
Farah              :    “Hallo, siapa ini ?, mana Hariadi”
Suara HP       :    “Apa saat ini  saya sedang bicara dengan istri bapak Hariadi ?”
Farah              :    “ya, siapa ini ?”
Suara HP       :    “Maaf ibu, saya Petugas Kepolisian. Bapak Hariadi baru saja mengalami kecelakaan. Sekarang beliau sedang dirawat di Rumah Sakit KASIH IBU”
                        Mendengar berita tersebut, spontan hati Farah serasa dihantam sesuatu dengan keras. Mendadak dadanya tiba-tiba serasa sesak. Sejenak beberapa saat Farah seperti terpaku, ia tak  dapat  berpikir apa-apa, ia juga tak mampu untuk menangis. Beberapa saat kemudian ia dapat menguasai diri dan tersadar. Dalam benaknya ia berkata : “Aku harus segera kerumah sakit”.
                        Sampai di Rumah Sakit, Farah tak langsung dapat menemui suaminya. Ia harus menunggu di ruang tunggu pasien, karna Hariadi sedang dalam penanganan di ruang ICU. Setelah beberapa jam kemudian, Dokter yang menangani Hariadi keluar dari ruang ICU.
Farah              :    “Dokter.........!” panggil Farah pada Dokter tersebut. ”Bagaimana keadaan suami Saya, Dokter ?”.
Dokter           :    “Ibu istri dari Pak Hariadi ya ?” sahut Dokter itu dengan balik tanya kepada Farah.
Farah              :    “Iya, Dokter !”
Doter              :    “Ibu harus sabar ya !. Suami ibu, selain karna kecelakaan itu, Pak Hariadi ternyata ditemukan Kangker di otak dan lambungnya. kecelakaan itu yang memicu pendarahan di otaknya sulit dihentikan. Namun sekarang sudah dapat teratasi semuanya. Ibu berdo’a saja yah !. agar Bapak Hariadi cepat sadar dan sembuh kembali.
                        Manusia berusaha namun Tuhan jua lah yang menentukan. Sejam kemudian setelah operasi pembedahan, Hariadi menghembuskan nafas terakhir. Tak ada kalimat terakhir yang di ucapkan Hariadi sebagai pesan terakhir kepada istri tercintanya. Lagi-lagi hati Farah seperti dihantan sesuatu dengan kerasnya. Mendadak seluruh tubuhnya kaku, lidahnya terasa kelu, bibirnya terkatup rapat, dadanya sesak. Namun masih tetap, tak ada air mata yang menetes dari matanya.
                        Setelah proses upacara pemakaman Hariadi selesai, barulah Farah mulai tersadar bahwa mulai kini hari-harinya akan menjadi sepi tanpa canda Hariadi, tanpa kasih dan sayang yang tulus dari seorang yang sangat mencintai dan menyayanginya, Hariadi suaminya. Dan mulai kini ia harus sendirian mengasuh kedua putra-putrinya. Akan terasa berat rasanya menjalani hari-hari tanpa seorang Hariadi. Namun memang begitulah cinta. Tak kan pernah terasa dan bisa dirasakan kedalaman maknanya sampai ia yang mencintai kita berada jauh dan meninggalkan kita.
                        Sehari setelah itu, sahabat karib Hariadi datang ke rumah Farah, Habib namanya. Habib datang dengan membawa surat yang ditulis Hariadi jauh-jauh sebelum ia meninggalkan Farah untuk selamanya. Kemudian setelah surat Hariadi telah diterima Farah, Habib pun langsung berpamitan pulang.
Dalam surat itu Hariadi mengatakan :

Untuk istriku Farah tercinta
Sengaja aku tulis surat ini untukmu, karna aku merasa bahwa umurku tidak lama lagi akan segera berakhir. Itu semua kusadari setelah aku melakukan pemeriksaan kesehatanku yang ternyata aku telah mengidap kangker di otak dan lambung.
Farah istriku tersayang .....,
Andai hari-hari kematianku itu telah benar-benar datang kepadaku, kumohon tak usahlah kau bersedih. Karna kesedihanmu itu mungkin akan membuat goresan luka di lubuk hatiku nanti. Aku ingin kau tetap tersenyum menjalani hari-harimu.
Farahku yang terkasih .....,
Maafkan aku ya ?!, Sebenarnya selama ini aku telah menyisikan uang untuk kutabung secara diam-diam tanpa sepengetahuanmu. Uang itu aku simpan di BCA cabang Sepanjang. Bersama surat ini aku sertakan juga buku tabungannya. Sungguh tiada maksud lain, selain aku berharap bahwa kelak uang ini akan dapat berguna untuk biaya hidup dan pendidikan anak-anak kita. Dan semoga kau dapat memanfaatkan serta menggunakan uang tersebut dengan sebaik-baiknya.
Farahku yang kinasih .....,
Maafkan aku, bila harus pergi meninggalkanmu. Seandainya aku boleh memilih, Aku ingin selalu bersamamu, mencintaimu, mengasihimu, menjagamu dan mengisi hari-harimu dengan senyum kebahagiaan. Tapi inilah taqdir yang harus kita jalani.
Farah....,
Selamat tinggal Farah istriku yang tercinta. Jadilah ibu yang baik, yang menjadi tauladan dan mengasihi anak-anak kita.
                                                                               
 Hariadi


                       
                        Setelah membaca surat itu, Farah seakan menahan air mata agar tidak menetes di pipinya, namun matanya tetap saja berkaca-kaca basah oleh air mata. Tubuhnya seakan lemas tak berdaya. Betapa ia mengenang Hariadi yang sangat mencintai dan mengasihinya, Hariadi suaminya yang selalu berusaha memberikan kebahagiaan dan kesenangan buatnya, kini telah pergi meninggalkannya.
                        Dalam benak Farah berkecamuk berjuta penyesalan dan kekecewaan. Hatinya marah terhadap dirinya sendiri yang tak pernah berusaha untuk bisa mencintai dan mengasihi Hariadi saat Hariadi masih berada disisinya. Ia menyesal karna tak pernah berusaha mempersembahkan sesuatu yang terindah buat Hariadi suaminya. Ia tak pernah menghidangkan, menyajikan, memasak makanan buat Hariadi. Bahkan menyajikan secangkir kopi pun ia tak pernah melakukannya sama sekali. Yang akhirnya, setiap hari Hariadi harus selalu makan makanan instan untuk dirinya sendiri, makanan instan yang banyak mengandung zat kimia dari bahan pengawetnya yang memicu munculnya penyakit kangker pada diri Hariadi. Tapi Hariadi tak pernah mengeluh sama sekali.
                        Farah menyesal karna tak pernah berusaha untuk tahu tentang kondisi kesehatan suaminya, bahkan ia tak pernah tahu apa saja yang menjadi hoby dan kesukaan suaminya. Padahal sebaliknya Hariadi selalu tahu apa saja yang menjadi kesukaan, kebiasaan, bahkan hal yang paling dibenci oleh Farah.
                        Hariadi selalu menyerahkan seluruh gaji bulanannya kepada Farah, Namun begitu pun, Hariadi masih sempat menabung untuk masa depan istri dan putra-putrinya. Entah dari mana ia mendapatkan uang untuk ditabung itu. Yang jelas, adalah bukan hasil dari korupsi ataupun menipu.
                        Penyesalan selalu datangnya belakangan. Dan penyesalan yang dialami Farah telah benar-benar membuat Farah menjadi orang yang terhukum oleh perasaan cinta yang datangnya terlambat setelah Hariadi tiada. Farah memutuskan bahwa dirinya tidak akan menikah lagi dengan orang lain, walau ia masih bisa dikatakan muda, cantik dan mempesona. 28 tahun umurnya. Sebagai tebusan atas cinta Hariadi yang begitu mendalam kepadanya.
                        Singkat cerita, ketika Putrinya menjelang usia dewasa dan duduk di bangku sekolah kelas 3 SMA, sebut saja Nayla namanya. Pada waktu duduk-duduk diruang tamu bersama Farah dan adiknya Nidzom, Farah nyeletuk omongan kepada ibunya : “Bu...., kalau nanti aku sudah berumah tangga, aku ingin mencintai suamiku seperti kesetiaan ibu dalam mencintai ayah”. Mendengar kalimat tersebut, spontan Farah kaget dan sepintas telah mengingatkan pada peristiwa 10 tahun lalu, saat Farah masih didampingi suaminya. “Jangan Nayla, jangan kau mencintai suamimu seperti cinta ibu kepada ayahmu, tapi cintailah suamimu seperti ayahmu dalam mencintai ibu. Karna cinta ayahmu kepada ibu adalah cinta sejati. Cinta ayahmu begitu dalam dan tulus tanpa pamrih. Cinta sejati adalah cinta yang selalu berusaha memberi dan mempersembahkan yang terindah buat yang dicintai. Cinta sejati tak pernah berharap balasan dan pamrih. Dari cinta seperti itulah kau akan menemukan kebahagian sejati. Karna dalam cinta yang tulus dan sejati, segala derita dan nestapa akan berubah menjadi terasa ni’mat dan indah.

Ibunda


IBUNDA


Kalau karna kerendahan hati, engkau menundukkan muka
Kalau karna rasa terimakasih yang mendalam, engkau berta’dzim
Kalau supaya diridloi Tuhan, engkau selalu siap mencium tangan
Tanyakan kepada Rosul Muhammad (yang pengetahuan dan lidahnya dijaga oleh Alloh)
Kepada siapakah engkau lakukan itu semua ?
Sang Rosul akan menjawab : “Ibunda”

Kemudian kalau engkau lebih lanjut bertanya :
Siapakah yang harus engkau ta’dzimi sesudah ibunda
Sang Rosul akan menjawab : “Ibunda”

Dan meskipun sekali lagi engkau bertanya :
Sesudahnya harus menghormati siapa ?
Sang Rosul yang hatinya lebih lembut dari salju itu menjawab : “Ibunda”

Kalau Ibunda tersenyum bahagia karna kebaikan hidupmu,
Dan engkau menghiasi senyum itu dengan memperluas cinta kasih kepada sesama
Maka sorga menghampar di masa depanmu

Kalau Ibunda menitikkan air mata karna suksesmu,
Dan engkau mengolah tangis itu menjadi taburan wewangian ke sekelilingmu
Maka istana emas di hari depan menantimu dengan tak sabar

Tetapi kalau Ibunda menangis oleh kepahitan
Yang engkau ciptakan melalui perbuatan-perbuatan durhaka
Maka suara rintihan dari kedalaman hati Ibunda
Akan menjelma menjadi lengkingan-lengkingan suara terompet
Yang amat keras dan memekakkan langit
Dan itu membuat ribuan malaikat akan naik pitam
Sehingga mereka beramai-ramai turun ke bumi,
Mengumpulkan batu-batu untuk  ditumpuk menutupi jalan di depanmu.

Ibunda adalah busur bagi anak panah keberhasialn hidupmu
Ibunda adalah tanah subur sekaligus air suci penyiram bagi bertumbuhnya
benih-benih kesejahteraan di muka bumi

Ibunda menyimpan sorga ditelapak kakinya
namun tak dijadikannya kebanggaan dan kekuasaan atasmu
melainkan dijelmakannya menjadi kasih sayang tak terhingga
diolahnya menjadi kelapangan hati dan persediaan maaf yang takkan pernah habis

Ibunda tidak mengepalai rumah tangga dan masyarakat
karena Ibunda adalah hatinya, nuraninya
dan jantung pemacu kehidupannya



Karya : EMHA AINUN NAJIB
03 Agustus 1996