Cinta dan Air Mata
Cinta Sejati
seringkali tumbuh subur
setelah disiram air mata
Hariadi
adalah seorang pemuda yang sukses dalam karier. Ia dipercaya sebagai direktur
manager sebuah perusahaan shampo dan kosmetik. Nasib baik dibidang kariernya
ternyata tak sama baik dalam segi fisiknya. Meskipun tidak bisa dibilang jelek,
ia juga tidak bisa dibilang tampan. Selain itu, Hariadi adalah seorang pemuda
yang selalu mengagungkan, menghormati dan patuh terhadap kedua orang tuanya, ia
juga taat menjalankan perintah agama, walau pemahamannya terhadap agama tak
seberapa mendalam.
Menjelang usia yang cukup untuk berumah tangga, Hariadi kemudian dijodohkan oleh kedua orang tuanya dengan anak seorang teman Ayahnya semasa dipesantren dulu. Sebut saja Farah namanya. Farah adalah gadis yang anggun, manis dan ramah. Sejak lulus Madrasah Ibtidaiyyah, Farah menghabiskan masa mudanya disebuah pesantren hingga ia lulus S1 di Universitas yang dikelola oleh pesantren tersebut.
Menjelang usia yang cukup untuk berumah tangga, Hariadi kemudian dijodohkan oleh kedua orang tuanya dengan anak seorang teman Ayahnya semasa dipesantren dulu. Sebut saja Farah namanya. Farah adalah gadis yang anggun, manis dan ramah. Sejak lulus Madrasah Ibtidaiyyah, Farah menghabiskan masa mudanya disebuah pesantren hingga ia lulus S1 di Universitas yang dikelola oleh pesantren tersebut.
Sementara
itu, selain karna rasa patuh terhadap kedua orang tua yang menjodohkannya
dengan Farah, Hariadi memang sangat mencintai dan menyayangi Farah. Bisa
ditebak sebabnya, yakni karna Farah adalah gadis yang manis, anggun, ramah dan
berbudi pekerti luhur. Maka tak salah bila Hariadi begitu mencintai Farah.
Berbeda halnya dengan Hariadi yang sangat mencintai dan menyayangi Farah. Farah
tak pernah mencintai, bahkan tak ada sedikitpun perasaan cinta dan sayang
tehadap Hariadi. Kalaupun akhirnya Farah harus menerima Hariadi sebagai
suaminya, adalah lantaran karna Farah tak mau menyakiti hati kedua orang tuanya
dengan menolak dijodohkan dengan Hariadi.
Akhirnya,
senang atau tidak senang, Farah pun harus menerima Hariadi sebagai suaminya,
walau dengan perasaan berat dan rasa tersayat. Demi mengikuti kemauan kedua
orang tuanya, dan demi membahagiakan hati kedua orang tuanya, farah harus rela mengorbankan
kebahagian dirinya sendiri.
Hari-hari
berlalu begitu cepatnya, bulan pun telah berganti tahun. Tak terasa lima tahun
sudah Farah menjalani hari-hari sebagi istri Hariadi. Dalam lima tahun itu
Farah telah dikarunia dua orang anak dari Hariadi. Dan dalam lima tahun itu
pula, dengan dua orang anak, ternyata tak juga mampu menyemikan benih cinta dan
sayang di hati Farah kepada Hariadi. Sikap ramah dan budi pekerti luhur yang
selama itu telah menghiasi pribadi Farah, lambat laut mulai terkikis oleh keangkuhan
hati Farah. Keangkuhan hati yang sama sekali tak pernah berusaha mencoba untuk
sekedar menyemikan benih cinta dan sayang kepada Hariadi, orang yang sangat
mencintai dan menyayanginya. Farah yang dulu ramah, kini menjadi wanita yang
angkuh dan maunya menang sendiri. Bahkan, budaya metropolitan kini juga bagai
virus yang merasuki prilaku Farah, merubah pemikiran dan penampilannya dari
bersahaja menjadi wanita serba mewah. Tiap hari ia keluar-masuk salon hanya
sekedar merapikan rambut dan merawat kulit. Dan tiap hari juga ia harus membeli
pakaian sekedar mengikuti update trend terkini.
Beruntung sekali Farah menjadi istri Hariadi, Hariadi yang penyabar, dan sangat
menyayangi Farah. Segala kemauan dan keinginan Farah, Hariadi selalu berusaha
mewujudkannya. Mulai dari perhiasan hingga mobil mewah, ia persembahkan buat
istri tercintanya.
Sampailah
pada suatu hari, Farah pergi ke sebuah salon di tengah kota. Seperti biasanya,
sekedar ia ingin merapikan rambut dan merawat kulit sebagai rutinitasnya. Singkat
kata, setelah semuanya selesai, Farah pun berdiri menghampiri tas yang ia
letakkan di atas meja rias. Diraihnya tas tersebut, dan dibukanya. Ia raba-raba,
mencari-cari dompet yang ia simpan di dalam tas, sebuah dompet kecil tempat
menyimpan uang yang akan ia ambil untuk membayar ongkos perawatan di Salon
tersebut. Hingga seluruh isi tas tersebut dikeluarkan semua, Farah tetap tak menemukan
dompetnya. Ia lalu mengambil Handphone di saku celananya, dan coba menghubungi
Hariadi yang saat itu sedang berada di Kantor tempat ia bekerja.
Farah
: “hallo, yah kamu ambil dompetku ya ?!”
Hariadi :
“ma sya’alloh .............., iya. Pagi
tadi waktu kamu masih tidur, anak-anak berangkat sekolah minta uang jajan, dan aku sedang
tidak punya uang kecil. Lalu aku ambilkan dari dompetmu. Maaf sayank ya !, aku
lupa mengembalikannya lagi kedalam tasmu. Maaf
ya sayank”
Farah :
“Sekarang aku sedang berada di salon
biasanya, dan lagi butuh uang buat bayar ongkos salon. Gimana ini yah ?. pokoknya kamu harus antarkan dompetku,
sekarang !”
Hariadi : “Iya iya, sekarang aku antarkan kesana”
Kemudian
Hariadi segera menyambar kunci kontak Honda Jazz-nya, dan mengendarainya menuju
ke rumah. Sampai di rumah, ia kemudian mencari dompet istri tercintanya. Dan
setelah dapat ia temukan dompet istrinya, segera ia menuju salon dengan Honda
Jazz-nya.
Sementara itu Farah yang sedang menunggu
kedatangan Hariadi sambil membaca-baca majalah kesukaannya. Namun setelah
sekian lama Farah menunggu, Hariadi tak kunjung datang juga. Sambil menggerutu
dan menyimpan kemarahan dalam hati, Farah coba memencet-mencet nomor
Handphonnya untuk menghubungi Hariadi.
Farah : “Hallo.......!,
kenapa lama sekali sih”
Belum sempurna kalimat
yang diucapkan Farah, tiba-tiba terdengar jawaban dari Handphon Hariadi
suaminya. Namun suara itu bukanlah suara Hariadi yang telah Farah kenal.
Farah : “Hallo,
siapa ini ?, mana Hariadi”
Suara HP : “Apa saat ini saya sedang bicara dengan istri bapak Hariadi
?”
Farah : “ya,
siapa ini ?”
Suara HP : “Maaf ibu, saya Petugas Kepolisian. Bapak
Hariadi baru saja mengalami kecelakaan. Sekarang beliau sedang dirawat di Rumah
Sakit KASIH IBU”
Mendengar berita
tersebut, spontan hati Farah serasa dihantam sesuatu dengan keras. Mendadak dadanya
tiba-tiba serasa sesak. Sejenak beberapa saat Farah seperti terpaku, ia tak dapat
berpikir apa-apa, ia juga tak mampu untuk menangis. Beberapa saat
kemudian ia dapat menguasai diri dan tersadar. Dalam benaknya ia berkata : “Aku
harus segera kerumah sakit”.
Sampai di Rumah Sakit,
Farah tak langsung dapat menemui suaminya. Ia harus menunggu di ruang tunggu
pasien, karna Hariadi sedang dalam penanganan di ruang ICU. Setelah beberapa
jam kemudian, Dokter yang menangani Hariadi keluar dari ruang ICU.
Farah : “Dokter.........!” panggil Farah pada Dokter
tersebut. ”Bagaimana keadaan suami Saya, Dokter ?”.
Dokter : “Ibu istri dari Pak Hariadi ya ?” sahut
Dokter itu dengan balik tanya kepada Farah.
Farah : “Iya, Dokter !”
Doter :
“Ibu harus sabar ya !. Suami ibu,
selain karna kecelakaan itu, Pak Hariadi ternyata ditemukan Kangker di otak dan
lambungnya. kecelakaan itu yang memicu pendarahan di otaknya sulit dihentikan.
Namun sekarang sudah dapat teratasi semuanya. Ibu berdo’a saja yah !. agar
Bapak Hariadi cepat sadar dan sembuh kembali.
Manusia berusaha namun
Tuhan jua lah yang menentukan. Sejam kemudian setelah operasi pembedahan,
Hariadi menghembuskan nafas terakhir. Tak ada kalimat terakhir yang di ucapkan
Hariadi sebagai pesan terakhir kepada istri tercintanya. Lagi-lagi hati Farah
seperti dihantan sesuatu dengan kerasnya. Mendadak seluruh tubuhnya kaku,
lidahnya terasa kelu, bibirnya terkatup rapat, dadanya sesak. Namun masih
tetap, tak ada air mata yang menetes dari matanya.
Setelah proses upacara pemakaman Hariadi selesai, barulah Farah mulai tersadar bahwa mulai kini hari-harinya akan menjadi sepi tanpa canda Hariadi, tanpa kasih dan sayang yang tulus dari seorang yang sangat mencintai dan menyayanginya, Hariadi suaminya. Dan mulai kini ia harus sendirian mengasuh kedua putra-putrinya. Akan terasa berat rasanya menjalani hari-hari tanpa seorang Hariadi. Namun memang begitulah cinta. Tak kan pernah terasa dan bisa dirasakan kedalaman maknanya sampai ia yang mencintai kita berada jauh dan meninggalkan kita.
Setelah proses upacara pemakaman Hariadi selesai, barulah Farah mulai tersadar bahwa mulai kini hari-harinya akan menjadi sepi tanpa canda Hariadi, tanpa kasih dan sayang yang tulus dari seorang yang sangat mencintai dan menyayanginya, Hariadi suaminya. Dan mulai kini ia harus sendirian mengasuh kedua putra-putrinya. Akan terasa berat rasanya menjalani hari-hari tanpa seorang Hariadi. Namun memang begitulah cinta. Tak kan pernah terasa dan bisa dirasakan kedalaman maknanya sampai ia yang mencintai kita berada jauh dan meninggalkan kita.
Sehari setelah itu,
sahabat karib Hariadi datang ke rumah Farah, Habib namanya. Habib datang dengan
membawa surat yang ditulis Hariadi jauh-jauh sebelum ia meninggalkan Farah
untuk selamanya. Kemudian setelah surat Hariadi telah diterima Farah, Habib pun
langsung berpamitan pulang.
Dalam
surat itu Hariadi mengatakan :
Untuk istriku Farah tercinta
Sengaja aku
tulis surat ini untukmu, karna aku merasa bahwa umurku tidak lama lagi akan
segera berakhir. Itu semua kusadari setelah aku melakukan pemeriksaan
kesehatanku yang ternyata aku telah mengidap kangker di otak dan lambung.
Farah istriku
tersayang .....,
Andai hari-hari
kematianku itu telah benar-benar datang kepadaku, kumohon tak usahlah kau
bersedih. Karna kesedihanmu itu mungkin akan membuat goresan luka di lubuk
hatiku nanti. Aku ingin kau tetap tersenyum menjalani hari-harimu.
Farahku yang terkasih
.....,
Maafkan aku ya
?!, Sebenarnya selama ini aku telah menyisikan uang untuk kutabung secara
diam-diam tanpa sepengetahuanmu. Uang itu aku simpan di BCA cabang Sepanjang. Bersama
surat ini aku sertakan juga buku tabungannya. Sungguh tiada maksud lain, selain
aku berharap bahwa kelak uang ini akan dapat berguna untuk biaya hidup dan
pendidikan anak-anak kita. Dan semoga kau dapat memanfaatkan serta menggunakan
uang tersebut dengan sebaik-baiknya.
Farahku yang
kinasih .....,
Maafkan aku,
bila harus pergi meninggalkanmu. Seandainya aku boleh memilih, Aku ingin selalu
bersamamu, mencintaimu, mengasihimu, menjagamu dan mengisi hari-harimu dengan
senyum kebahagiaan. Tapi inilah taqdir yang harus kita jalani.
Farah....,
Selamat tinggal
Farah istriku yang tercinta. Jadilah ibu yang baik, yang menjadi tauladan dan mengasihi
anak-anak kita.
Hariadi
Setelah membaca surat
itu, Farah seakan menahan air mata agar tidak menetes di pipinya, namun matanya
tetap saja berkaca-kaca basah oleh air mata. Tubuhnya seakan lemas tak berdaya.
Betapa ia mengenang Hariadi yang sangat mencintai dan mengasihinya, Hariadi
suaminya yang selalu berusaha memberikan kebahagiaan dan kesenangan buatnya, kini
telah pergi meninggalkannya.
Dalam benak Farah
berkecamuk berjuta penyesalan dan kekecewaan. Hatinya marah terhadap dirinya
sendiri yang tak pernah berusaha untuk bisa mencintai dan mengasihi Hariadi
saat Hariadi masih berada disisinya. Ia menyesal karna tak pernah berusaha
mempersembahkan sesuatu yang terindah buat Hariadi suaminya. Ia tak pernah
menghidangkan, menyajikan, memasak makanan buat Hariadi. Bahkan menyajikan
secangkir kopi pun ia tak pernah melakukannya sama sekali. Yang akhirnya,
setiap hari Hariadi harus selalu makan makanan instan untuk dirinya sendiri,
makanan instan yang banyak mengandung zat kimia dari bahan pengawetnya yang
memicu munculnya penyakit kangker pada diri Hariadi. Tapi Hariadi tak pernah
mengeluh sama sekali.
Farah menyesal karna tak
pernah berusaha untuk tahu tentang kondisi kesehatan suaminya, bahkan ia tak
pernah tahu apa saja yang menjadi hoby dan kesukaan suaminya. Padahal
sebaliknya Hariadi selalu tahu apa saja yang menjadi kesukaan, kebiasaan, bahkan
hal yang paling dibenci oleh Farah.
Hariadi selalu menyerahkan
seluruh gaji bulanannya kepada Farah, Namun begitu pun, Hariadi masih sempat
menabung untuk masa depan istri dan putra-putrinya. Entah dari mana ia
mendapatkan uang untuk ditabung itu. Yang jelas, adalah bukan hasil dari
korupsi ataupun menipu.
Penyesalan selalu
datangnya belakangan. Dan penyesalan yang dialami Farah telah benar-benar
membuat Farah menjadi orang yang terhukum oleh perasaan cinta yang datangnya
terlambat setelah Hariadi tiada. Farah memutuskan bahwa dirinya tidak akan
menikah lagi dengan orang lain, walau ia masih bisa dikatakan muda, cantik dan
mempesona. 28 tahun umurnya. Sebagai tebusan atas cinta Hariadi yang begitu
mendalam kepadanya.
Singkat cerita, ketika
Putrinya menjelang usia dewasa dan duduk di bangku sekolah kelas 3 SMA, sebut
saja Nayla namanya. Pada waktu duduk-duduk diruang tamu bersama Farah dan
adiknya Nidzom, Farah nyeletuk omongan kepada ibunya : “Bu...., kalau nanti aku
sudah berumah tangga, aku ingin mencintai suamiku seperti kesetiaan ibu dalam
mencintai ayah”. Mendengar kalimat tersebut, spontan Farah kaget dan sepintas
telah mengingatkan pada peristiwa 10 tahun lalu, saat Farah masih didampingi
suaminya. “Jangan Nayla, jangan kau mencintai suamimu seperti cinta ibu kepada
ayahmu, tapi cintailah suamimu seperti ayahmu dalam mencintai ibu. Karna cinta
ayahmu kepada ibu adalah cinta sejati. Cinta ayahmu begitu dalam dan tulus
tanpa pamrih. Cinta sejati adalah cinta yang selalu berusaha memberi dan
mempersembahkan yang terindah buat yang dicintai. Cinta sejati tak pernah
berharap balasan dan pamrih. Dari cinta seperti itulah kau akan menemukan
kebahagian sejati. Karna dalam cinta yang tulus dan sejati, segala derita dan
nestapa akan berubah menjadi terasa ni’mat dan indah.
1 komentar:
I like Story
Posting Komentar